MATERI MOUNTAINEERING
Secara bahasa arti kata Mountaineering adalah teknik mendaki gunung. Ruang lingkup kegiatan Mountaineering sendiri meliputi kegiatan sebagai berikut :
SEJARAH SINGKAT MOUNTAINEERING
Pendakian gunung sebenarnya telah
dilakukan oleh para nenek moyang kita yang dimulai dengan bapak manuasia
Nabi Adam AS yang menjelajahi bukit tursina untuk mencari cintanya Siti
Hawa. Siti Hajar yang telah lintas dari bukit marwah ke bukit Safa ditemani dengan sherpa
JIBRIL untuk mencari air bagi ismail yang lagi kehausan. Dan pendakian
demi pendakian hingga saat ini masih terus berlangsung dan kelak (tak
lama lagi ) giliran kalian untuk melanjutkan amanah menjaga kelanggengan
kemanusian.
a. Sejarah Dunia
1942 : Anthoine de Ville memanjat tebing Mont Aiguille (2907 m) di pegunungan alpen untuk berburu chamois (Kambing gunung)
1624 : Pastor pastor Jesuit, melintasi pegunungan himalaya dari gharwal di Iindia ke Tibet menjalankan tugas misionarisnya
1760 : Professoe de Saussure menawarkan
hadiah besar bagi siapa saja yang dapat menaklukkan puncak mont blanc
guna kepentingan ilmiahnya.
1786 : Puncak tertinggi di pegunungan alpen Mont Blanc (4807 m) akhirnya dicapai oleh Dr. Michel Paccaro dan Jacquet Balmat.
1852: Batu pertama jaman keemasan dunia keemasan di Alpen diletakkan oleh Alfred Wills dalam pendakiannya ke puncak Wetterhorn (3.708 m), cikal bakal pendakian gunung sebagai olah raga.
1852 : Sir George Everest, akhirnya
menentukan ketinggian puncak tertinggi dunia, dan di abadikan dengan
namanya (8.848 m), orang Nepal menyebut puncak ini dengan nama
sagarmatha, orang tibet menyebutnya chomolungma.
1878 : Clinton Dent (bukan pepsoden)
memnjat tebing Aigullie de dru di perancis yang memicu trend pemanjatan
tebing yang tidak terlalu tinggi tetapi cukup curam dan sulit, banyak
orang menganggap peristiwa ini adalah kelahiran panjat tebing
1895 : AF Mummery orang yang disebut
sebagai bapak pendakian gunung modern hilang di Nanga Parbat (8.125 m),
pendakian ini adalah pendakian pertama puncak di atas ketinggian 8.000 m
1924 : Mallory dan Irvina mencoba lagi mendaki Everest, keduanya hilang di ketinggian sekitar 8.400 m
1953 : Pada tanggal 29 mei Sir Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay akhirnya mencapai atap dunia puncak everest.
b. Sejarah Indonesia
1623 : Yan Carstenz adalah orang pertama melihat adanya pegunungan sangat tinggi, dan tertutup salju di pedalaman irian
1899: Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz
hampir 3 abad sebelumnya tentang “ … pegunungan yang sangat tinggi, di
beberapa tempat tertutup salju!” di perdalaman Irian. Maka namanya
diabadikan sebagai nama puncak yang kemudian ternyata merupakan puncak
gunung tertinggi di Indonesia.
1962 : Puncak Carstenz akhirnya berhasil dicapai oleh tim pimpinan Heinrich Harrer.
1964 : Beberapa pendaki Jepang dan 3 orang Indonesia, yaitu Fred Athaboe, Sudarto dan Sugirin, yang tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih, berhasil mencapai Puncak Jaya di Irian. Puncak yang berhasil didaki itu sempat dianggap Puncak Carstensz, sebelum kemudian dibuktikan salah.
Puncak Eidenburg, juga di Irian, berhasil di daki oleh ekspedisi yang dipimpin Philip Temple.
Dua perkumpulan pendaki gunung tertua di Indonesia lahir : Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta, lalu di susul oleh perkumpulan perhimpunan pencinta alam lainnya mulai dari, MPA,SISPALA, KPA, ERNIPALA, MODIPALA dan sebagainya
1972 : Mapala UI, diantaranya adalah Herman O. Lantang dan Rudy Badil, berhasil mencapai Puncak cartenz. Mereka merupakan orang-orang sipil pertama dari Indonesia yang mencapai puncak ini.
E. PERSIAPAN DALAM SEBUAH PERJALANAN
1. Dapat berpikir secara logis.
Ini adalah elemen yang terpenting dalam
membuat keputusan selama pendakian, dimana cara berpikir seperti ini
lebih banyak mempertimbangkan faktor safety atau keselamatannya.
2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Meliputi pengetahuan tentang medan (
navigasi darat) ,cuaca dan teknik pendakian , pengetahuan tentang alat
pendakian atau pemanjatan dan sebagainya.
3. Dapat mengkoordinir tubuh kita.
Ø koordinasi antara otak dengan anggota tubuh.
Ø Haruslah terdapat keseimbangan antara apa yang dipikirkan di
Ø Otak dan apa yang sanggup dilakukan oleh tubuh.
Ø Keseimbangan antara emosi dan kemampuan diri.
Ø Ketenangan dalam melakukan tindakan .
Ø koordinasi antar anggota tubuh.
Ialah keseimbangan dan irama anggota
tubuh itu sendiri dalam membuat gerakan-gerakan atau langkah- langkah
ketika berjalan atau diam
4. kondisi fisik yang memadai.
Ini dapat dimengerti karena mendaki
gunung termasuk dalam olahraga yang cukup berat . Seringkali berhasil
tidaknya suatu pendakian / pemanjatan bergantung pada kekuatan fisik.
Untuk mempunyai kondisi fisik yang baik dan selalu siap maka jalan
satu-satunya haruslah berlatih.
5. Berdoa
Penyeberangan Basah
Ada beberapa teknik/tips dalam melakukan penyeberangan disungai :
- Carilah Jembatan
- Jika jembatan tidak ada jangan berharap ada yang mau buatkan jadi
carilah daerah aliran sungai tak beriak, deras dan dalam biasanya
semakin ke hulu aliran sungai seperti itu ada
- Jika kalian menyeberangi sungai dan ada tali, ada yang tau berenang
ada juga tidak maka itu yang tau berenang menyeberang kesebelah
dengan diikat tali lalu tali tali itu di tambatkan sudah itu
nyebrang mako
- Pada saat menyeberang sungai kalian bisa membawa tongkat untuk
menjaga keseimbangan dan juga berguna untuk mengukur kedalaman air
Ingatlah jika menyeberang sungai jangan
pernah membelakangi arah arus air hadapilah walau itu deras karena
kalian akan jauh lebih kokoh dan lintasan jalur yang kalian lalui ada
baiknya diagonal begitupun jika kalian menyeberang secara tim
Selamat Mendaki !!!!!
1. Hill Walking/Hiking Penggiat Alam Bebas Perlu Miliki Beberapa Kemampuan
asa liburan biasanya digunakan oleh
banyak anggota pencinta alam untuk mendaki gunung. Namun beberapa kali
kita melihat atau mendengar musibah yang dialami para pendaki gunung.
Banyak musibah menimpa para pendaki di gunung tertentu akibat hilang
atau tersesat hingga menimbulkan kematian. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Mendaki gunung sebagai kegiatan di alam
bebas perlu disadari betul sebagai kegiatan yang berisiko tinggi. Sebab
terjadi perubahan penyesuaian diri terhadap lingkungan yang kita
datangi. Dari kehidupan di perkotaan yang nyaman dan aman dengan segala
fasilitasnya, menuju lingkungan dengan kondisi yang ekstrem. Biasanya
kita bermukim di rumah yang nyaman dan sejuk, terhindar dari panasnya
matahari, dinginnya malam dan hujan serta tidur di ranjang yang empuk
dengan selimut yang menghangatkan. Belum lagi dengan makanan dan minuman
yang cepat tersedia dari para pembantu di rumah maupun di tempat
jajanan.
Semua itu akan berubah drastis jika kita
mendaki gunung. Perbekalan selama mendaki kita bawa dalam ransel yang
berat termasuk peralatan dan perlengkapan lainnnya. Tenda untuk berteduh
harus didirikan untuk menghindari dinginnya suhu di ketinggian serta
angin dan hujan yang sewaktu-waktu datang dengan tiba-tiba. Makanan dan
minuman juga harus diolah terlebih dahulu sebelum kita menikmatinya.
Belum lagi dengan kondisi lingkungan dalam perjalanan. Hutan yang lebat
serta jalan yang menanjak dan tak jarang kita harus melewati pinggiran
tebing dengan jurang yang dalam. Dengan situasi seperti itu jelas
diperlukan persiapan dan perencanaan yang matang sebelum kita mendaki
gunung dengan nyaman.
Seorang pakar pendidikan alam terbuka,
Collin Mortlock, mengatakan bahwa para penggiat alam bebas harus
memiliki beberapa kemampuan dalam berkegiatan. Kemampuan itu adalah
kemampuan teknis yang yang berhubungan dengan ritme dan keseimbangan
gerakan serta efisiensi penggunaan perlengkapan. Sebagai contoh, pendaki
harus memahami ritme berjalan saat melakukan pendakian, menjaga
keseimbangan pada medan yang curan dan terjal sambil
membawa beban yang berat serta memahami
kelebihan dan kekurangan dari perlengkapan dan peralatan yang dibawa
serta paham cara penggunaannya.
Lalu, kemampuan kebugaran yang mencakup
kebugaran spesifik yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu, kebugaran
jantung dan sirkulasinya, serta kemampuan pengkondisian tubuh terhadap
tekanan lingkungan alam. Berikutnya, kemampuan kemanusiawian. Ini
menyangkut pengembangan sikap positif ke segala aspek untuk
meningkatkan kemampuan. Hal ini mencakup determinasi/kemauan, percaya
diri, kesabaran, konsentrasi, analisis diri, kemandirian, serta
kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.
Seorang pendaki seharusnya dapat memahami
keadaan dirinya secara fisik dan mental sehingga ia dapat melakukan
kontrol diri selama melakukan pendakian, apalagi jika dilakukan dalam
suatu kelompok, ia harus dapat menempatkan diri sebagai anggota kelompok
dan bekerja sama dalam satu tim.
Tak kalah penting adalah kemampuan pemahaman lingkungan. Pengembangan
kewaspadaan terhadap bahaya dari lingkungan spesifik. Wawasan terhadap
iklim dan medan kegiatan harus dimiliki seorang pendaki. Ia harus
memahami pengaruh kondisi lingkungan terhadap dirinya dan pengaruh
dirinya terhadap kondisi lingkungan yang ia datangi.
Keempat aspek kemampuan tersebut harus
dimiliki seorang pendaki sebelum ia melakukan pendakian. Sebab yang akan
dihadapi adalah tidak hanya sebuah pengalaman yang menantang dengan
keindahan alam yang dilihatnya dari dekat, tetapi juga sebuah risiko
yang amat tinggi, sebuah bahaya yang dapat mengancam keselamatannya.
IGN FERRY IRAWAN
sumber: Suara PembaruanPERLENGKAPAN PRIBADI
1. Sepatu, ada beberapa tipe sepatu yang dirancang khusus untuk berbagai
jenis perjalanan. Sepatu yang baik adalah yang dapat memberikan
perlindungan bagi kaki dan cocok untuk jenis perjalanan.
2. Pakaian, harus dapat melindungi si pemakai dari gangguan medan dan
cuaca. Meliputi pakaian untuk kepala, badan, tangan dan kaki.
3. Perlengkapan tambahan, meliputi bekal makanan / minuman, senter, pisau, perlengkapan menginap / tidur, dll.
PERLENGKAPAN TEKNIK
1. Tali (Rope)
Tali yang dipergunakan dalam pendakian / pemanjatan tebing (climbing
rope) bersifat fleksible, elastis dan tahan terhadap beban yang berat.
Diameter tali berkisar antara 11, 10 dan 9 mm. Kemampuan menahan beban
berkisar antara 1.360 s/d 2.720 kg. Yang biasa digunakan ada dua jenis
yaitu : Hawser laid dan Kernmantel.
2. Helmet / Crash Hat
Berfungsi sebagai pelindung kepala terhadap benturan benda keras.
3. Harness
Tali tubuh yang berfungsi sebagai sabuk pengaman.
4. Carabineer
Carabineer adalah cincin kait yang berbentuk oval atau D dan mempunyai
gate / pintu, terbuat dari allumunium alloy dan mempunyai kekuatan
antara 1.500 – 3.500 kg. Carabineer ini ada dua jenis, yaitu : screw
gate (berkunci) dan snape gate (tidak berkunci).
5. Sling
Sling terbuat dari webbing tubular. Panjang sekitar 1,5 m dengan lebar
2,5 cm dibentuk menjadi sebuah loop (lingkaran) yang dihubungkan dengan
simpul pita.
PERENCANAAN PERLENGKAPAN PERJALANAN :
Keberhasilan suatu kegiatan di alam terbuka juga ditentukan oleh
perencanaan dan perbekalan yang tepat. Dalam merencanakan perlengkapan
perjalanan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya
adalah :
1. Mengenal jenis medan yang akan dihadapi (hutan, rawa, tebing, dll)
2. Menentukan tujuan perjalanan (penjelajahan, latihan, penelitian, SAR,
3. Mengetahui lamanya perjalanan (misalnya 3 hari, seminggu, sebulan,
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan fisik untuk membawa beban
5. Memperhatikan hal-hal khusus (misalnya : obat-obatan tertentu)
Setelah mengetahui hal-hal tersebut, maka kita dapat menyiapkan
perlengkapan dan perbekalan yang sesuai dan selengkap mungkin, tetapi
beratnya tidak melebihi sepertiga berat badan (sekitar 15-20 kg),
walaupun ada yang mempunyai kemampuan mengangkat beban sampai 30 kg.
Dari kegiatan penjelajahan, ada beberapa jenis perjalanan yang disesuaikan dengan medannya, yaitu :
1. Perjalanan pendakian gunung
2. Perjalanan menempuh rimba
3. Perjalanan penyusuran sungai, pantai dan rawa
4. Perjalanan penelusuran gua
5. Perjalanan pelayaran
Untuk perjalanan ilmiah dan kemanusiaan, bisa pula dikelompokkan
berdasarkan jenis medan yang dihadapi. Dari setiap kegiatan tersebut,
kita dapat mengelompokkan perlengkapannya sebagai berikut :
1. Perlengkapan dasar, meliputi :
o Perlengkapan dalam perjalanan / pergerakkan
o Perlengkapan untuk istirahat
o Perlengkapan makan dan minum
o Perlengkapan mandi
o Perlengkapan pribadi
2. Perlengkapan khusus, disesuaikan dengan perjalananan, misalnya
o Perlengkapan penelitian (kamera, buku, dll)
o Perlengkapan penyusuran sungai (perahu, dayung, pelampung, dll)
o Perlengkapan pendakian tebing batu (carabineer, tali, chock, dll)
o Perlengkapan penelusuran gua (helm, headlamp/senter, harness, sepatu karet, dll)
3. Perlengkapan tambahan
Perlengkapan ini dapat dibawa atau tergantung evaluasi yang dilakukan (misalnya : semir, kelambu, gaiter, dll).
Mengingat pentingnya penyusunan perlengkapan dalam suatu perjalanan,
maka sebelum memulai kegiatan, sebaiknya dibuatkan check-list terlebih
dahulu. Perlengkapan dikelompokkan menurut jenisnya, lalu periksa lagi
mana yang perlu dibawa dan tidak.
Apabila perjalanan kita lakukan dengan berkelompok, maka check-list nya
untuk perlengkapan regu dan pribadi. Dalam perjalanan besar dan
memerlukan waktu yang lama, kita perlu menentukan perlengkapan dan
perbekalan mana saja yang dibawa dari rumah atau titik keberangktan, dan
perlengkapan atau perbekalan mana saja yang bisa dibeli di lokasi
terdekat dengan tujuan perjalanan kita.
(Sumber : Buku Panduan Pedoman Mendaki Gunung & Penjelajahan Rimba/EAT&E – EAST 2003
Mendaki gunung adalah suatu olah raga
keras, penuh petualangan dan membutuhkan keterampilan, kecerdasan,
kekuatan serta daya juang yang tinggi. Bahaya dan tantangan merupakan
daya tarik dari kegiatan ini. Pada hakekatnya bahaya dan tantangan
tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri dan untuk bisa menyatu
dengan alam. Keberhasilan suatu pendakian yang sukar, berarti keunggulan
terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap perjuangan melawan diri
sendiri.
Di Indonesia, kegiatan mendaki gunung mulai dikenal sejak tahun 1964
ketika pendaki Indonesia dan Jepang melakukan suatu ekspedisi gabungan
dan berhasil mencapai puncak Soekarno di pegunungan Jayawijaya, Irian
Jaya (sekarang Papua). Mereka adalah Soedarto dan Soegirin dari
Indonesia, serta Fred Atabe dari Jepang. Pada tahun yang sama,
perkumpulan-perkumpulan pendaki gunung mulai lahir, dimulai dengan
berdirinya perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung WANADRI di
Bandung dan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) di
Jakarta, diikuti kemudian oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya di
berbagai kota di Indonesia.
JENIS PERJALANAN / PENDAKIAN
Mountaineering dalam arti luas adalah suatu perjalanan, mulai dari
hill walking sampai dengan ekspedisi pendakian ke puncak-puncak yang
tinggi dan sulit dengan memakan waktu yang lama, bahkan sampai
berbulan-bulan.
Menurut kegiatan dan jenis medan yang dihadapi, mountaineering terbagi menjadi tiga bagian :
1. Hill Walking / Fell Walking
Perjalanan mendaki bukit-bukit yang relatif landai dan yang tidak atau
belum membutuhkan peralatan-peralatan khusus yang bersifat teknis.
2. Scrambling
Pendakian pada tebing-tebing batu yang tidak begitu terjal atau relatif
landai, kadang-kadang menggunakan tangan untuk keseimbangan. Bagi pemula
biasanya dipasang tali untuk pengaman jalur di lintasan.
3. Climbing
Kegiatan pendakian yang membutuhkan penguasaan teknik khusus. Peralatan
teknis diperlukan sebagai pengaman. Climbing umumnya tidak memakan waktu
lebih dari satu hari.
Bentuk kegiatan climbing ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rock Climbing
Pendakian pada tebing-tebing batu yang membutuhkan teknik pemanjatan dengan menggunakan peralatan khusus.
b. Snow & Ice climbing
Pendakian pada es dan salju.
4. Mountaineering
Merupakan gabungan dari semua bentuk pendakian di atas. Waktunya bisa
berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Disamping harus
menguasai teknik pendakian dan pengetahuan tentang peralatan pendakian,
juga harus menguasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan,
komunikasi, strategi pendakian, dll.
KLASIFIKASI PENDAKIAN
Tingkat kesulitan yang dimiliki setiap orang berbeda-beda, tergantung
dari pengembangan teknik-teknik terbaru. Mereka yang sering berlatih
akan memiliki tingkat kesulitan / grade yang lebih baik dibandingkan
dengan mereka yang baru berlatih.
Klasifikasi pendakian berdasarkan tingkat kesulitan medan yang dihadapi (berdasarkan Sierra Club) :
Kelas 1 : berjalan tegak, tidak diperlukan perlengkapan kaki khusus (walking).
Kelas 2 : medan agak sulit, sehingga perlengkapan kaki yang memadai dan
penggunaan tangan sebagai pembantu keseimbangan sangat dibutuhkan
(scrambling).
Kelas 3 : medan semakin sulit, sehingga dibutuhkan teknik pendakian tertentu, tetapi tali pengaman belum diperlukan (climbing).
Kelas 4 : kesulitan bertambah, dibutuhkan tali pengaman dan piton untuk anchor/penambat (exposed climbing).
Kelas 5 : rute yang dilalui sulit, namun peralatan (tali, sling, piton
dll), masih berfungsi sebagai alat pengaman (difficult free climbing).
Kelas 6 : tebing tidak lagi memberikan pegangan, celah rongga atau gaya
geser yang diperlukan untuk memanjat. Pendakian sepenuhnya bergantung
pada peralatan (aid climbing).
SISTEM PENDAKIAN
1. Himalayan System, adalah sistem pendakian yang digunakan untuk
perjalanan pendakian panjang, memakan waktu berminggu-minggu. Sistem ini
berkembang pada pendakian ke puncak-puncak di pegunungan Himalaya.
Kerjasama kelompok dalam sistem ini terbagi dalam beberapa tempat
peristirahatan (misalnya : base camp, flying camp, dll). Walaupun hanya
satu anggota tim yang berhasil mencapai puncak, sedangkan anggota tim
lainnya hanya sampai di tengah perjalanan, pendakian ini bisa dikatakan
berhasil.
2. Alpine System, adalah sistem pendakian yang berkembang di
pegunungan Alpen. Tujuannya agar semua pendaki mencapai puncak
bersama-sama. Sistem ini lebih cepat, karena pendaki tidak perlu kembali
ke base camp, perjalanan dilakukan secara bersama-sama dengan cara
terus naik dan membuka flying camp sampai ke puncak.
PERSIAPAN BAGI SEORANG PENDAKI GUNUNG
Untuk menjadi seorang pendaki gunung yang baik diperlukan beberapa persyaratan antara lain :
1. Sifat mental.
Seorang pendaki gunung harus tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan
dan tantangan di alam terbuka. Tidak mudah putus asa dan berani, dalam
arti kata sanggup menghadapi tantangan dan mengatasinya secara bijaksana
dan juga berani mengakui keterbatasan kemampuan yang dimiliki.
2. Pengetahuan dan keterampilan
Meliputi pengetahuan tentang medan, cuaca, teknik-teknik pendakian pengetahuan tentang alat pendakian dan sebagainya.
3. Kondisi fisik yang memadai
Mendaki gunung termasuk olah raga yang berat, sehingga memerlukan
kondisi fisik yang baik. Berhasil tidaknya suatu pendakian tergantung
pada kekuatan fisik. Untuk itu agar kondisi fisik tetap baik dan siap,
kita harus selalu berlatih.
4. Etika
Harus kita sadari sepenuhnya bahwa seorang pendaki gunung adalah bagian
dari masyarakat yang memiliki kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang berlaku
yang harus kita pegang dengan teguh. Mendaki gunung tanpa memikirkan
keselamatan diri bukanlah sikap yang terpuji, selain itu kita juga harus
menghargai sikap dan pendapat masyarakat tentang kegiatan mendaki
gunung yang selama ini kita lakukan.
(Sumber : Buku Panduan Pedoman Mendaki Gunung & Penjelajahan Rimba/EAT&E – EAST 200
Hill walking atau yang lebih dikenal
sebagai hiking adalah sebuah kegiatan mendaki daerah perbukitan atau
menjelajah kawasan bukit yang biasanya tidak terlalu tinggi dengan
derajat kemiringan rata-rata di bawah 45 derajat. Dalam hiking tidak
dibutuhkan alat bantu khusus, hanya mengandalkan kedua kaki sebagai
media utamanya. Tangan digunakan sesekali untuk memegang tongkat jelajah
(di kepramukaan dikenal dengan nama stock atau tongkat pandu) sebagai
alat bantu. Jadi hiking ini lebih simpel dan mudah untuk dilakukan
2..scrambling.
Dalam pelaksanaannya, scrambling
merupakan kegiatan mendaki gunung ke wilayah-wilayah dataran tinggi
pegunungan (yang lebih tinggi dari bukit) yang kemiringannya lebih
ekstrim (kira-kira di atas 45 derajat). Kalau dalam hiking kaki sebagai
‘alat’ utama maka untuk scrambling selain kaki, tangan sangat dibutuhkan
sebagai penyeimbang atau membantu gerakan mendaki. Karena derajat
kemiringan dataran yang lumayan ekstrim, keseimbangan pendaki perlu
dijaga dengan gerakan tangan yang mencari pegangan. Dalam scrambling,
tali sebagai alat bantu mulai dibutuhkan untuk menjamin pergerakan naik
dan keseimbangan tubuh.
Berbeda dengan hiking dan scrambling, level mountaineering yang
paling ekstrim adalah climbing! Climbing mutlak memerlukan alat bantu
khusus seperti karabiner, tali panjat, harness, figure of eight, sling,
dan sederetan peralatan mountaineering lainnya. Kebutuhan alat bantu itu
memang sesuai dengan medan jelajah climbing yang sangat ekstrim.
Bayangkan saja, kegiatan climbing ini menggunakan wahana tebing batu
yang kemiringannya lebih dari 80 derajat! Ouhhh…
Nah, tentu saja mountaineering ini cukup
menantang untuk digeluti… selain wahana kegiatannya yang berada di
daerah ketinggian pegunungan yang diwarnai dengan tebing lembah, ngarai,
ceruk, sungai, dan panorama tiada tara, untuk melakoni mountaineering
ini tentu saja dibutuhkan kesiapan fisik yang mantap
Secara garis besarnya untuk melakoni
mountaineering pastikan tubuh kalian dalam kondisi sehat, fit, dan
stamina oke. Untuk itu olahraga teratur sangat mutlak. Selain itu, kau
harus bebas dari semua phobia akan hal-hal yang berkaitan dengan
tempat-tempat tinggi dan punya kesiapan rencana yang mantap!
Peralatan dasar kegiatan alam bebas seperti :
ransel, vedples (botol air), sepatu
gunung, pakaian gunung, tenda, misting (rantang masak outdoor), kompor
lapangan, topi rimba, peta, kompas, altimeter, pisau, korek, senter,
alat tulis, dan matras mutlak dibutuhkan selain alat bantu khusus
mountaineering seperti tali houserlite/kernmantel, karabiner, figure of
eight, sling, prusik, bolt, webbing, harness, dan alat bantu khusus
lainnya yang dibutuhkan sesuai level kegiatannya.
2. Climbing
Climbing adalah olah raga panjat yang dilakukan di tempat yang curam atau tebing. Tebing atau jurang
adalah formasi bebatuan yang menjulang secara vertikal. Tebing
terbentuk akibat dari erosi. Tebing umumnya ditemukan di daerah pantai,
pegunungan dan sepanjang sungai. Tebing umumnya dibentuk oleh bebatuan
yang yang tahan terhadap proses erosi dan cuaca.
Di dalam arti yang sebenarnya memang
climbing itu panjat tebing. Tetapi banyak pula orang mengartikan bukan
hanya panjat saja dalam kegiatan climbing ini melainkan juga Repling (turun tebing), Pursiking (naik tebing dengan menggunakan tali pursik) dan lain-lain.
Biasanya orang melakukan pemanjatan
tebing ini dilakukan dengan konsentrasi yang tinggi, kekuatan tangan,
kekuatan kaki, keseimbangan tubuh dijadikan tolak ukur dalam melakukan
pemanjatan ini. Panjat tebing bukan hanya di alam tetapi kita bisa di
tebing buatan (woll-climbing).
Dalam divisi climbing ini sangatlah
mengharapkan peran lembaga STTA dalam melancarkan kegiatannya, yaitu
adanya pembuatan woll-climbing. Didalam pembuatan wool-climbing memang
memerlukan dana yang cukup besar. Maka dari itu Palastta mengharapkan
kerjasama dari pihak manapun untuk dapat bekerja sama dalam pembuatan
wool-climbing ini.
3. Rock Climbing
Rock Climbing adalah olah raga fisik dan
mental yang mana selalu membutuhkan kekuatan, keseimbangan, kecepatan,
ledakan-ledakan tenaga yang didukung dengan kemampuan mental para
pelakunya. Ini adalah kegiatan yang sangat berbahaya dan dibutuhkan
pengetahuan dan latihan. Olah raga ini juga menggunakan alat-alat panjat
yang sangat krusial dan rawan, tetapi dengan teknik dan pengetahuan
yang benar, olah raga ini sangat aman untuk dilakukan.
Ice and Snow Climbing
Ice and Snow Climbing adalah olah raga
fisik dan mental yang mana selalu membutuhkan kekuatan, keseimbangan,
kecepatan, ledakan-ledakan tenaga yang didukung dengan kemampuan mental
para pelakunya. Ini adalah kegiatan yang sangat berbahaya dan dibutuhkan
pengetahuan dan latihan. Olah raga ini juga menggunakan alat-alat
panjat yang sangat krusial dan rawan, tetapi dengan teknik dan
pengetahuan yang benar, olah raga ini sangat aman untuk dilakukan.
Seorang awam (tidak memiliki cukup
penagalaman di hutan dan gunung) mungkin segera akan menilai bahwa
bahaya dihutan adalah sbb :
`Hutan dan gunung adalah wilayah berkeliarannya binatang-binatang
buas pemangsa yang setiap detik siap memangsa manusia yang memasuki
wilayahnya. Tumbuh-tumbuhan yang lebat saling berbelit dan rimbunnya
dedaunan akan menghambat sinar matahari dan menimbulkan kegelapan yang
segera akan menyesatkan arah perjalanan kita. Legenda tentang batang
kayu besar yang tumbang serta dipenuhi lumut dan ketika seseorang
menancapkan lumut atasnya segera menyemburlah darah. Dan batang kayu itu
menggeliat; ternyata batang kayu itu adalah tubuh seekor ular yang
sangat besar yang segera akan marah dan menelan manusia yang
menyakitinya. Bayang-bayangan sejenis itu adalah wajar dimiliki oleh
seorang awam. Sebagian ada benarnya tapi sebagian lagi adalah hal-hal
yang sangat dilebih-lebihkan’
Tetapi bagi orang yang telah
berpuluh-puluh kali mengalami perjalanan di hutan dan gunung ternyata
sebahagian besar belum pernah bertemu dengan binatang buas seperti yang
ditakautkan (walau mengkin sesungguhnya salah seorang dari mereka pernah
bertemu, tetapi binatangnya buas itu segera menghindar karena mendengar
suara manusia sehingga tak terlihat). Penagalaman2 yang lebih pasti
dialaminya adalah mereka pasti selalu bertemu debgan nyamuk-nyamuk yang
berusaha menghisap darahnya. Seandainya salah seekor nyamuk yang
menggigitnya berpotensi menularkan malaria, demam berdarah ataupun
penyakit kaki gajah, tentu saja hal ini sudah merupakan potensi bahaya
yang dapat berakibat sama fatalnya dengan serangan binatang buas. Hujan,
angin, dan udara dingin adalah contoh lain dari hambatan-hambatan yang
paling sering ditemui, dimana bila menjadi extreme dapat menjadi bahaya
atau potensi bahaya yang tidak kalah fatalnya. Banyak lagi hal-hal lain
yang karena mungkin belum pernah dialami atau terlihat dapat menjadi
potensi bahaya, menjadi terabaikan. Atau mungkin juga sesuatau hal yang
dilingkungan kehidupan normal dapat dianggap hal yang biasa terjadi
dikarenakan fasilitas-fasilitas pendukung yang memadai, tidak disadri
dapat merupakan bahaya atau berpotensi menjadi bahaya fatal dalam
perjalanan di hutan dan gunung : misalnya luka-luka kecil yang bisa
terkena infeksi bila tidak terawat dengan baik.
Tentu saja membahas bentuk-bentuk bahaya
yang mungkin dihadapi di hutan fdan gunung dengan cara diatas akan
menjadi bertele-tele, berbelit dan sangat tidak sistematis. Untuk itu
marilah kita mencoba membahas secara lebih sistematis bahaya-bahaya yang
mungjkin kita hadapi di hutan dan gunung.
Pengelompokan Bahaya di Hutan dan Gunung
Bila kita kelompokan bahaya di hutan dan gunung dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1. Bahaya Obyektif : Segala bentuk bahaya
atau potensi bahaya yang ditimbulkan oleh objek hutan dan gunung itu
sendiri dan segala sesuatu yang berada dilingkungannya
2. Bahaya Subyektif : Segala bentuk
bahaya dan atau potensi bahaya yang diawali atau ditimbulkan oleh pelaku
dalam segala bentuk perilaku, tindakan dan pengambilan keputusan baik
sebelum ataupun saat ia berkegiatan di hutan dan gunung.
3. Nasib Buruk dan Nasib Baik : segala
bentuk bahaya dan atau potensi bahaya yang pada dasarnya diluar
perhitungan ataupun pertimbangan pelakunya, dan bersifat sama sekali
tidak terduga. Umumnya sangat jarang terjadi. Nasib Buruk akan langsung
dirasakan oleh pelaku sebagai potensi bahaya ataupun bahaya. Nasib Baik
bila tidak secara bijak diterima sebagai sebentuk pengalaman tentang
keberuntungan, dapat menjadi sebentuk sikap berfikir yang dapat menjadi
potensi dan atau bahaya disaat mendatang.
Kelompok-kelompok Bahaya di Hutan dan Gunung.
1. Bahaya Objectif
a) Kondisi Bentuk Permukaan Bumi (Terrain); Apakah
Terrain berpemukaan: datar, curam, patahan-patahan, tonjolan-tonjolan
dan gabungan dari beberapa bentuk. Masing-massing memiliki bahaya
sendiri-sendiri. Apakah kondisi permukaan itu terbentuk oleh tanah
padat, gembur, berair, becek, rawa, sungai, pasir, kerikil bulat, krikil
tajam, batuan lepas, batuan padat dan serterusnya. Masing- masing juga
memeiliki sifat-sifat tersendiri yang tentunya memeiliki potensi-potensi
bahaya.
b) Bentuk-bentuk Kehidupan (living Form);
• Kehidupan Binatang: Mulai kehidupan Micro
organisme yang sederhana hingga binatang-binatang besar dapat menjadi
potensi bahaya. Secara umum potensi itu adalah :
- Dapat menimbulkan penyakit.
- Dapat menularkan penyakit.
- Beracun bila menyengat, bersentuhan atau menggigit.
- Beracun bila dimakan.
- Karena ukurannya besar dapat berbahaya bila menyerang.
- Binatang besar pemangsa.
- Minimbulkan/mengeluarkan zat-zat kimia yang membuat sangat tidak nyaman.
• Tumbuh-tumbuhan
Potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tumbuhan adalah : ‘
- Kerapatan tumbuhan dapat menghambat dan mencederai kita dalam pergerakan.
- Kerapatan tumbuhan dapat menghambat jarak dan keleluasaan pandangan (visibility) sehingga menyulitkan orientasi.
- Mempunyai duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai kita.
- Mengandung racun bila dimakan.
Tetapi harus dicatat, dalam situasi
survival ada tidaknya binatang dan tumbuhan yang dapat kita manfaatkan
juga merupakan problem bagi kita untuk sumber makakan, shelter, bahan
bakar, perlengkapan pengganti dll.
c) Iklim dan Cuaca
Iklim yang merupakan gambaran umum
musim-musim yang terjadi disuatu daerah tertentu dalam periode waktu
satu tahun mungkin lebih mudah doiperkirakan. Tetapi cuaca yang
berkaitan dengan: temperatur, kelembaban dan pergeerakan udara akan
lebih sulit diperkirakan. Ketiga hal itu sangat berkaitan dengan
kemampuan tubuh kita yang mempunyai keterbatasan untuk dapat berfungsi
normal. Hal-hal yang dapat menjadi potensi bahaya dari kondisi cuaca
adalah :
• Temprertur Tinggi, yang berkaitan debngan terik matahari dapat menyebabkan Heatstroke dan Sunstroke.
• Temperature rendah, basah, angin, dan kombinasinya dapat menyebabkan Hypotermia.
• Basah terus-menerus dapat menyebabkan bagian telapak kaki mengalami
Water immersion foot (seperti kena kutu air). Akan mudah lecet dan
peluang terinfeksi menjadi lebih besar.
• Potensi-potensi bahaya lain yang
diakibatkan oleh cuaca misal: angin yang sangat besar dapat mematahkan
batang2 pohon besar yang bisa mencederai kita, curah hujan yang tinggi
dapat menghambat pergerakan dan jarak pandang. Curah hujan yang sangat
extreme mempunyai potensi bahaya tersendiri. Demikian juga kekeringan
yang extreme
d) Ketinggian
Tinggi rendahnya suatu tempat dari atas
permukaan laut, akan berkaitan dengan besarnya tekanan udara di tempat
itu. Disekitar ketinggian sejajar dengan permukaan laut tekanan udara
besarnya kurang lebih 1 Atmosfir (atm), pada 500 Meter Diatas Permukaan
Laut (mdpl) tekanan udaranya hanya kurang lebih 50%nya. Besarnya tekanan
disebabkan massa udara yang lebih besar. Dengan kata lain materi yang
membentuk udara lebih banyak. Makin kecil tekanannya, makin sedikit
materi yang membentuknya. Oksigen yang kita butuhkan ada kurang lebih
20% dari materi yang membentuk udara. Dengan demikian makin tinggi suatu
tempat dari permukaan laut makin sedikit jumlah oksigen dari setiap
liter yang terhisap paru-paru kita. Tubuh kita membutuhkan waktu untuk
beraklimatisasi dengan kondisi ini. Kurangnya waktu aklimatisasi dapat
menimbulkan gangguan pada kesehatan tubuh kita, yaitu apa yang disebut
Mountain Sickness, yang bila berlanjut dari kondisi Hypoxia dapat
berkembang menjadi Pulmonaryedema dan atau Cerebraledema. Bahkan diatas
ketinggian yang berkisar mulai diatas 5000 mdpl, tubuh kita tidak mampu
beraklimatisasi secara permanaen. Hanya dalam batasan waktu tertentu
tubuh kita dapat bertahan. Daerah diatas ketinggian itu sering juga
disebut “Death Zone” dimana tidak ada makhluk hidup yang dapat
beraklimatisasi permanent disana. (Can u follow it…?)
e) Besaran Jarak dan Waktu
Besarnya jarak biasanya berkaitan dengan
lamanya waktu tempuh, walau tingkat kesulitan medan (berkaitan
dengankondisi Terrain, Living Form, Iklim dan cuaca, ketinggian) ikut
berpengaruh. Secara sederhana dapat dilihat bahwa makin besar jarak dan
waktu makin rumit rencana perjalan yang harus kita buat. Banyak masalah-
masalah yang harus kita pertimbangkan seperti misalnya : masalah
perbekalan, navigasi, kesehatan, shelter, peralatan, tekanan-
tekanan/stress (fisik dan psikis) yang mungkin dialami dst. Makin rumit
rencana perjalanan yang harus kita pertimbangkan, ada kemungkinan makin
besar faktor-faktor kesalahan yang terjadi. Faktor- faktor kesalahan
yang ini dapat berkembang pada pelaksanaanya menjadi potensi bahaya.
f) Kondisi Akibat/Pengaruh
Yang dimaksud dengan kondisi akibat atau
pengaruh adalah suatu kondisi yang pada umumnya/biasanya tidak merupakan
potensi bahaya, tetapi akibat pengaruh tertentu menjadikannya sebagai
potensi atau bahaya. Beberapa contoh misalnya :
- Adanya bangkai binatang besar diatas
aliran sungai yang sangat jernih dihutan atau digunung yang kita gunakan
sebagai sumber air.
- Adanya ganggang beracun pada genangan air tetrentu yang kita anggap sebagai sumber air yang baik.
- Munculnya gas beracun di wilayah gunung
berapi dimana biasanya wilayah tersebut aman. Hal ini mungkin akibat
aktivitas gunung berapi beraktivitas diluar normalnya.
- Jenis-jenis ikan tertentu yang biasanya
tidak beracun menjadi ikan beracun bila dikonsumsi akibat adanya
kandungan mineral tertentu atau micro organisme tertentu diperairan
habitatnya.
- Dan contoh lainnya.
g) Kondisi Sosial Budaya
“Lain padang lain belalangnya, lain lubuk
lain pula ikannya”, demikian kata peribahasa. Setiap daerah memang
memiliki adat-istiadat tersendiri. Kesalahan kita dalam menghargai adat
istiadat setempat dapat menimbulkan kesalahpahaman. Rasa tidak suka,
penolakan terhadap kehadiran kita akan menimbulkan ketidaknyamanan dan
atau rasa tidak aman pada diri kita. Hal ini bila berlanjut dapat
menjadi potensi bahaya yang tidak jarang pula menjadi bahaya. Tidak
jarang pula masyarakat pedalaman yang akan merasa tidak aman bila
wilayahnya dimasuki orang asing. Bagi kita sikap mereka sering kita
anggap agresif, yang sesungguhnya itu adalah manifestasi dari rasa tidak
aman itu. Pendekatan yang cermat perlu kita lakukan agar situasi itu
tidak menjadi potensi bahaya.
2. Bahaya Subjektif
a. Kondisi Kebugaran (fitness)
Subject : Berkegiatan di alam terbuka
dalam tingkatan tertentu menuntut kebugaran tubuh pelakunya. Tidak saja
sitem peredaran darahnya (cardios culary), metabolisme tubuh, kekuatan
otot-ototnya, tetapi juga daya pertahanan tubuhnya terhadap
perubahan-perubahan cuaca (berkaitan dengan temperatur, kebasahan
angin). Sering juga berkegiatan di gunung dan hutan mengharuskan kita
melakukan irama dan siklus kehidupan yang tidak teratur. Atau setidaknya
tidak sebagaimana pada kehidupan kita sehari-hari. Situasi dan kondisi
ini dapat menjadi potensi bahaya apabila kebugaran tubuh pelaku tidak
dapat memenuhi sebagaimana yang dituntut kegiatan itu.
b. Kondisi Kemampuan Tekhnis (Technical Skills)
Subyek : Sebentuk pengetahuan dan
keterampilan tekhnis tentu saja dituntut dalam berkegiatan di gunung dan
hutan. Keterampilan untuk dapat bergerak dengan efisien serta efektif,
mengontrol keseimbangan dan irama gerak tubuh serta beristirahat secara
efektif tapi efisien. Hal ini juga harus ditunjang dengan pengetahuah
apa saja, peralatan pembantu yang dibutuhkan secara tepat, serta
penggunaanya secara benar untuk membantunya bergerak atau beristirahat.
Pengetahuan dan keterampilan menjaga kesehatan, kebugaran tubuh dan
bagaimana mengatasi bila tergangu juga dituntut. Tidak mendukungnya
kemampuan tekhnis pelaku, akan menjadi sebentuk potensi bahaya.
c. Kondisi Kemampuan Kemanusiaan (Human Skills)
Sebentuk kondisi kemampuan kemanusiaan juga dituntut dalam berkegiatan
di alam bebas. Apa yang sering kita dengar sebagai mental yang kuat dan
emosi yang stabil itu yang dituntut. Tetapi uraian dari mental yang kuat
itu sendiri jarang kita dengar. Pengertian mental itu sendiri adalah
bagaimana “sikap berfikir kita dalam mengontrol aksi gerak
tubuh/tindakan kita”. Dengan kata lain bagaimana kita terhadap sebentuk
situasi dan kondisi: Menilai, Menganalisa, Merasionalisasikannya,
Mengambil/Menentukan keputusan, serta Melaksanakan keputusan itu.
Hal-hal diatas terntu saja menuntut sebentuk perilaku positif manusia.
Seperti : Leadership, Judgement, Determination, Integrity,
Patience/Kecermatan, dan seterusnya untuk dapat melaksanakannya dengan
baik. Emosi adalah sebentuk reaksi perasaan yang timbul bila menghadapi
situasi dan kondisi tertentu. Dapat dianggap sebagai suatu kewajaran,
tetapi tidak jarang sesungguhnya tidak bersifat rasional. Rasa Takut,
Kesal, Kesepian, Patah Semangat, Frustasi, adalah contoh-contoh yang
dapat berkembang menjadi potensi bahaya.
d. Kondisi Kemampuan Pemahaman Lingkungan (Enviromental Skills)
Pamahaman akan segala bentuk sifat dan karakter dari lingkungan gunung
dan hutan dituntut bagi pelaku yang berkegiatan disana. Segala sifat dan
karakter lingkungan yang dapat menjadi potensi bahaya harus bisa
dinilainya; tetapi sifat dan karakter yanhg dapat dimanfaatkan harus
pula dapat dipahaminya. Sifat dan karakter lingkungan itu bukan dianggap
sebagai musuh, tetapi bagaimana ia harus mampu bernegosiasi dengan
segala kemampuan yang dimilinya. Ketidakmampuan memahami segala karakter
dan sifat lingkungan dimana ia berkegiatan akan dapat menimbulkan
potensi bahaya.
3. Nasib Buruk dan Baik
Hal utama dari sikap pendekatan kita
terhadap nasib baik dan buruk mungkin yang terbaik adalah sebagai
berikut: Adanya nasib buruk adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Apabila terjadi pada kita, terimalah sebagai suatu realita bukan dengan
reaksi emosi yang negatif seperti : Kesal, Menyesali, Marah dst. Hal
terpenting yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita dapat
mengatasinya dengan bijak dan tepat. Mendapatkan nasib baik harus kita
sadari hanya benar-benar sebuah keberuntungan. Hal ini jangan kita
jadikan sandaran untuk tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan
selanjutnya. Tidak rela menerima adanya nasib buruk dan tidak menyadari
itu hanyalah sebuah keberuntungan, akan menjadi suatu potensi bahaya
bagi kita.
sumber: http://apriliaayu.staff.mipa.uns.ac.id/